FaktaNews24.com, Bima ][ Polres Bima Kota telah menetapkan seorang korban pengeroyokan oleh sekelompok preman sebagai pelaku pengancaman. Keputusan ini tidak hanya mencederai rasa keadilan, tetapi juga menimbulkan pertanyaan serius apakah ini yang dinamakan sebagai prinsip penegakan hukum atau prinsip untuk menegakkan kepentingan.
Korban, yang bernama Ardiansyah, berasal dari Desa Tawali, Kecamatan Wera. Ia mengalami luka serius setelah dikeroyok oleh sekelompok preman. Tidak hanya itu, kepalanya di bacok dan pahanya juga ditusuk dengan tombak, hingga menyebabkan luka yang sangat serius pada bagian kepala dan pahanya. Alih-alih mendapatkan perlindungan dan keadilan, Ardiansyah sebagai korban pengeroyokan oleh sekelompok preman justru ditetapkan sebagai pelaku pengancaman oleh Polres Bima Kota.
Keputusan ini menimbulkan kemarahan dan kekecewaan di kalangan masyarakat yang merasa bahwa keadilan telah diinjak-injak oleh Polres Bima Kota. Bagaimana mungkin seorang korban yang jelas-jelas mengalami kekerasan brutal yang dilakukan oleh sekelompok preman justru dianggap sebagai pelaku.
Kasat Reskrim Polres Bima Kota IPTU Franto Matondang, dalam sebuah klarifikasinya tertanggal 18 Januari 2025 menyampaikan bahwa kasus penganiayaan yang dilakukan oleh sekelompok preman masih dalam tahap penyidikan.
Adalah fakta yang tak terbantahkan bahwa tindak pidana penganiayaan yang dilakukan oleh sekelompok preman seharusnya dikenakan pasal 170 KUHP karena dilakukan dengan menggunakan tenaga bersama tetapi pihak penyidik Polres Bima Kota justru menerapkan pasal 351 KUHP dengan tindak pidana penganiayaan ringan.
Hal ini menunjukkan bahwa Pihak Polres Bima Kota telah secara meyakinkan melindungi sekelompok preman yang melakukan kekerasan secara brutal pada korban dan lebih ngeri lagi korban malah dikriminalisasi oleh Polres Bima Kota dengan tuduhan korban melakukan pengancaman pada sekelompok preman. Sungguh sangat ironis!
Lebih lanjut dalam klarifikasinya, Kasat Reskrim Polres Bima Kota IPTU Franto Matondang, menyatakan bahwa kasus ini adalah kasus saling lapor antara korban dan pihak yang dilaporkan. Ada dua laporan yang kami terima, yakni laporan penganiayaan dan laporan pengancaman.
Penyidik Polres Bima Kota sengaja merekayasa laporan tentang pengancaman dari sekumpulan preman yang melaporkan korban dalam kasus pengancaman, meskipun tidak ada satupun fakta yang membuktikan bahwa korban melakukan tindak pidana sebagaimana yang dituduhkan oleh Polres Bima Kota.
Kasus ini sengaja dibuat-buat oleh penyidik Polres Bima Kota supaya dijadikan sebagai bahan barter atas laporan korban terhadap tindak pidana kekerasan yang dilakukan secara bersama-sama oleh sekelompok preman kepada korban. Dengan kata lain Polres Bima Kota seolah ingin mengatakan “jika kamu cabut laporan mu maka akan kami perintahkan kepada pelaku (sekelompok preman yang menganiaya kamu) untuk mencabut laporannya, dan posisi kami sebagai penyidik Polres Bima Kota berada pada pihak pelaku bukan pada pihak kalian sebagai korban’.
Jika Penyidik Polres Bima Kota betul-betul profesional dalam menjalankan tugasnya maka seharusnya kasus penganiayaan yang dilakukan oleh sekelompok preman sebagaimana dimaksud dalam pasal 170 KUHP yang memiliki tingkat keseriusan atas kejahatan tersebut harus mendapatkan atensi yang lebih utama.
Apalagi alat bukti sebagaimana yang ditentukan dalam pasal 183 yang mensyaratkan minimum dua alat bukti telah terpenuhi untuk menetapkan tersangka (pasal 1 Angka 14 KUHAP), melakukan penangkapan (Pasal 17 KUHAP) dan penahanan (Pasal 21 ayat 1 KUHAP), yaitu alat bukti berupa keterangan saksi/korban dan surat (visum et repertum). Meskipun hanya ada satu orang saksi tetapi selama itu didukung oleh alat bukti yang lain (Pasal 185 ayat 3 KUHAP) maka secara hukum sekelompok preman yang telah melakukan penganiayaan secara brutal kepada korban seharusnya sudah bisa ditetapkan sebagai tersangka, ditangkap dan ditahan karena baik bukti permulaan maupun bukti permulaan yang cukup ataupun cukup bukti telah terpenuhi.
Tetapi Polres Bima Kota justru menjadi backing terbaik yang melindungi sekelompok preman yang melakukan kejahatan tersebut.
Situasi ini semakin menguatkan keyakinan kita, bahwa hukum mirip seperti jaring laba-laba dia hanya mampu menjerat dan menyeret yang kecil tetapi akan robek dan hancur ketika berhadapan dengan yang besar dan kuat.
Tindakan polres bima kota merupakan tindakan yang sangat mencederai institusi kepolisian Republik Indonesia, dan berdasarkan hasil riset serta kami telusuri khasus ini, “ARDIANSYAH” yang merupakan korban pembegalan serta penganiyaan malah Kapolres bima kota menetapkan sebagai tersangka pengacaman, hal ini apabila tidak di indahkan dengan baik oleh Kapolres bima kota terkait persoalan ini, maka kami akan segera melaporkan hal ini di mabes polri.
GMOCT : GABUNGAN MEDIA ONLINE CETAK TERNAMA