FaktaNews24.com, Aceh Singkil – Komisi II DPRK Aceh Singkil menyampaikan kekecewaannya terhadap PT Nafasindo dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar untuk membahas kewajiban perusahaan terkait plasma. Konflik ini berhubungan dengan hak masyarakat yang belum mendapat jaminan atas pemenuhan kewajiban plasma oleh perusahaan.
RDP yang berlangsung di Gedung Aula DPRK setempat, pada Kamis, 20 Februari 2025, dihadiri oleh berbagai pihak, termasuk Asmudin Hutabarat, Kepala Bidang Pertanahan Aceh Singkil, tokoh masyarakat, serta kelompok tani. Namun, PT Nafasindo hanya mengirimkan dua staf, Kiki dan Rahmat, yang tidak memiliki kewenangan untuk memberikan solusi konkret, sementara yang diharapkan adalah perwakilan pimpinan perusahaan.
Wakil Ketua DPRK Aceh Singkil, Wartono, yang memimpin rapat tersebut, mengungkapkan rasa kecewa yang mendalam atas ketidakhadiran perwakilan perusahaan yang berwenang mengambil keputusan. “Kami merasa tidak dihargai. Mengapa hanya staf yang hadir, sementara keputusan yang kami harapkan tidak bisa diambil oleh mereka?” ujar Wartono.
Wartono menambahkan bahwa DPRK Aceh Singkil akan terus memanggil perusahaan pemegang Hak Guna Usaha (HGU) yang beroperasi di wilayah mereka untuk memastikan kewajiban plasma dan hak masyarakat lainnya dipenuhi. “Kami akan memperjuangkan hak masyarakat. Semua dokumen terkait sengketa lahan sudah ada di meja kami dan akan dibahas lebih lanjut,” jelasnya.
Namun, meskipun RDP tersebut digelar, tidak tercapai kesepakatan yang diharapkan. PT Nafasindo tidak dapat memberikan jawaban memadai terkait pembangunan kebun plasma yang seharusnya menjadi bagian dari kewajiban mereka.
Wartono menegaskan bahwa perusahaan harus memenuhi kewajibannya untuk menyediakan 20 persen lahan plasma dari total luas HGU sebelum perpanjangan izin diberikan. “Kami ingin melihat bukti nyata. Perusahaan mengklaim sudah merealisasikan lahan plasma dalam pola kemitraan sebesar 20 persen. Tunjukkan lokasi dan desa mana yang dimaksud,” tegas Wartono.
Anggota DPRK Aceh Singkil, Warman, juga menyoroti masalah ini dengan serius. Ia mengingatkan PT Nafasindo bahwa perusahaan tidak boleh mengambil hasil produksi dari wilayah HGU yang izinnya belum dikeluarkan, terutama dari area seluas 3.007 hektar. “Sebelum izin HGU dikeluarkan, perusahaan tidak boleh mengambil hasil di wilayah tersebut,” ujar Warman.
Sebagai langkah selanjutnya, Warman menyatakan bahwa pihaknya akan mengirimkan surat kepada Kementerian Pertanahan Pusat untuk meminta agar izin HGU PT Nafasindo tidak diperpanjang. “Berdasarkan laporan masyarakat, banyak hal yang perlu ditinjau ulang. Jika perusahaan tetap mengambil hasil dari lokasi tersebut, berarti mereka tidak mematuhi hasil kesepakatan RDP hari ini,” tegas Warman.
Warman menambahkan bahwa pihaknya juga akan segera menyurati Gubernur Aceh dan Kementerian Pertanahan Pusat untuk memastikan masalah ini ditindaklanjuti dengan serius dan tidak ada pihak yang diabaikan.
Konflik ini semakin memanas, dan Komisi II DPRK Aceh Singkil bertekad untuk terus memperjuangkan hak-hak masyarakat agar perusahaan yang beroperasi di wilayah mereka memenuhi kewajiban plasma secara adil.