Faktanews24.com – Pacitan, Di balik bayang-bayang ombak selatan dan tenangnya kota Pacitan, muncul sebuah bom waktu sosial yang siap meledak kapan saja. Namanya (LSL) lelaki suka lelaki yang kini bukan hanya menjadi momok moralitas, tetapi juga menjadi jalur dominan penyebaran virus HIV/AIDS di Pacitan.
Namun ironisnya, di saat virus menyebar secara diam-diam, negara justru terlihat sibuk menjaga citra toleransi. Aparat tak bergerak. Dinas Kesehatan seperti terpaku pada edukasi setengah hati. Sementara netizen, mulai dari rakyat biasa hingga Ketua DPRD, justru menyuarakan keprihatinan yang tak terbendung.
Menurut data resmi Dinas Kesehatan Pacitan, 12 kasus HIV/AIDS baru ditemukan pada bulan Mei 2025. Dan seperti pernyataan Kepala Bidang P2P, Nur Farida, mayoritas kasus berasal dari kelompok LSL. Ia menyebut edukasi terhadap kelompok ini “sulit dijangkau” dan tenaga kesehatan lebih memilih fokus ke pengobatan.
Namun pernyataan ini justru menjadi bukti telanjang lemahnya keberanian negara dalam menyentuh wilayah sensitif yang sesungguhnya sangat krusial.
“Penambahan kasus HIV tahun 2025 tidak mengalami peningkatan signifikan,” kata Kepala Dinas Kesehatan Pacitan, dr. Daru Mustikoaji saat dikonfirmasi wartawan Senin, 14 Juli 2025.
Pernyataan ini sontak memantik respons publik. Bagaimana mungkin 12 kasus dalam sebulan, mayoritas dari kelompok perilaku seksual menyimpang, disebut tidak signifikan? Bukankah ini sinyal darurat?
Ketua DPRD Pacitan, Dr. Arif Setia Budi, tidak tinggal diam. Dalam wawancaranya, ia menegaskan bahwa Dinas Kesehatan harus berani dan tidak boleh berhenti hanya pada edukasi yang retoris.
“Perlu mitigasi, koreksi, dan keberanian edukasi ke masyarakat terkait perilaku menyimpang seperti LSL,” katanya.
Lebih lanjut, Arif menyindir bahwa jika Dinkes merasa tidak sanggup menyentuh kelompok tersebut, maka Satpol PP dan aparat penegak perda harus dilibatkan. Ia juga menyebut masyarakat saat ini hidup dalam algoritma medsos yang membentuk perilaku. “Konten menjurus perlu diawasi dan disadarkan secara persuasif,” tegasnya.
Di media sosial, reaksi publik justru lebih keras. Postingan akun @radar_pacitan soal dominasi LSL dalam kasus HIV/AIDS diserbu komentar miring, salah satu akun menulis.
“Ngobati sampah masyarakat buang² duit. Biarin suruh tobat,” Tulis akun @phetephete13.
“La S1L1T ono T61 ne loo kok yo di embat,” Tulis akun @totok_1978.
Komentar-komentar ini menuai pro dan kontra, tapi yang jelas menunjukkan tingginya ketegangan antara persepsi publik dan cara kerja pemerintah.

Warga Donorojo, Icha Ferry, menegaskan bahwa fenomena LSL di Pacitan bukan cuma masalah kesehatan, tapi juga ancaman moral dan spiritual.
“Kalau perilaku ini dibiarkan, Allah bisa menurunkan azab. Ini jelas-jelas menyimpang dan perlu ditekan, bahkan dihilangkan,” ujarnya.
Pandangan Icha ini diperkuat oleh ayat Al-Qur’an tentang kaum Nabi Luth, yang disebut sebagai umat pertama yang dihancurkan karena penyimpangan seksual.
“Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: ‘Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?” QS Al-A’raf: 80-81.
Dinas Kesehatan berdalih mereka tetap berupaya menggandeng relawan untuk masuk ke komunitas berisiko. Namun, hingga kini, belum ada strategi konkret berbasis data, lokasi, dan pengawasan yang jelas.
Alih-alih memperkuat razia di penginapan, komunitas online, dan tempat hiburan, pemerintah justru terkesan memilih jalur “aman” edukasi yang tak sampai, kampanye yang tak menyentuh, dan netralitas yang membahayakan.
Empat Langkah yang Harus Diambil Sekarang Juga
1. Terbitkan Perda Ketertiban Moral dan Pencegahan Penyakit Menular Seksual
Perlu hukum daerah yang menindak aktivitas LSL sebagai penyumbang terbesar HIV.
2. Bentuk Tim Gabungan Dinkes, Satpol PP, dan Kepolisian untuk Razia Lokasi Rawan
Razia tidak untuk menghukum, tapi memetakan dan mengintervensi langsung kelompok penyebar risiko.
3. Wajib Tes HIV untuk Pelaku yang Terindikasi
Siapa pun yang terjaring razia harus ikut skrining VCT dan masuk data pemantauan Dinkes.
4. Dirikan Pusat Rehabilitasi Seksual dan Moral
Tak hanya edukasi medis, tapi pembinaan akidah dan mental melalui tokoh agama, psikolog, dan penyuluh keluarga.
Kita sudah terlalu lama membungkam fakta demi citra “terbuka” dan “modern.” Tapi virus tak peduli narasi. Ia hanya butuh tubuh-tubuh tak sadar dan sistem yang lemah.
Pacitan harus berani. Atau bersiap menyaksikan kota ini menjadi titik merah dalam peta epidemi nasional.
Nabi Muhammad SAW bersabda:
“Tidaklah suatu perbuatan keji menyebar di suatu kaum hingga mereka melakukannya terang-terangan, kecuali Allah akan menimpakan kepada mereka penyakit yang belum pernah ada pada generasi sebelum mereka.” (HR. Ibnu Majah).
Jangan tunggu azab berbentuk statistik. Jangan biarkan kota religius ini dikoyak virus yang dijaga atas nama toleransi semu. Karena diam adalah ikut serta. Dan membiarkan adalah tanda lemah.***
Penulis : Jefri Asmoro Diyatno