Faktanews24.com – Pacitan, Kasus HIV/AIDS di Kabupaten Pacitan kembali menyita perhatian publik. Hingga pertengahan tahun 2025, Dinas Kesehatan mencatat peningkatan kasus yang signifikan, dengan kelompok lelaki suka lelaki (LSL) disebut sebagai penyumbang terbanyak dalam penyebaran virus ini. Fakta ini memicu diskusi hangat, baik di ruang publik maupun media sosial.
Menurut data Dinas Kesehatan Pacitan, sebanyak 12 kasus baru HIV terkonfirmasi pada Mei 2025 saja, dan sebagian besar berasal dari kelompok LSL. Kepala Bidang P2P Dinas Kesehatan Pacitan, Nur Farida, menyatakan bahwa pendekatan edukasi terhadap kelompok ini sangat menantang. “Fokus kami jadi lebih ke pengobatan, karena edukasi sulit dijangkau,” ujarnya dalam sebuah pernyataan resmi.
Kasus HIV/AIDS di Pacitan bukan lagi hal yang bisa dianggap enteng, apalagi dalam akhir-akhir ini dikabarkan penyumbang kasus penyakit tersebut didominasi oleh perilaku yang tidak normal alias tidak sesuai dari kehidupan selayaknya manusia.
Sebut saja lelaki suka lelaki (LSL) mereka merupakan penyumbang kasus HIV/AIDS di Pacitan. Dengan ini menjadikan hal yang perlu disadari seluruh elemen bahwa perbuatan ini sudah tidak bisa anggap remeh.

Netizen atau pengguna sosial media pun juga turut memberikan respons komentar yang menohok yang di unggah di salah satu platform Instagram dalam postingan akun Instagram radar_pacitan. Kasus LSL ini menjadikan perhatian netizen di Pacitan dengan komentar yang pedas dengan disertai emoji tertawa.
“La S1L1T ono T61 ne loo kok yo di embat,” Cetus akun totok_1978 yang dikutip pada Kamis, 10 Juli 2025.
Sementara itu, dari netizen yang lainnya juga turut memberikan komentarnya yang juga sangat miring. Komentarnya ini menandakan bahwa sudah sangat tidak bisa memberikan toleransi terkait perbuatan menyimpang ini.
“Biarin mereka merasakan sakit dan yang melihat biar takut melakukan, bukane diobati,” tulis akun, phetephete13.
Dia juga menambahkan lagi mengobati sampah masyarakat itu buang-buang uang, mendingan dibiarkan dan disuruh tobat atau menyesali dari perbuatan menyimpang itu.
“Ngobati sampah masyarakat buang² duit biarin suruh tobat,” Imbuhnya.
Komentar-komentar semacam ini menunjukkan betapa kuatnya stigma yang masih melekat terhadap kelompok rentan, yang pada akhirnya bisa memperparah situasi. Stigma sosial sering kali menyebabkan para penyintas HIV/AIDS enggan memeriksakan diri atau mengakses pengobatan, sehingga mempercepat penyebaran virus di masyarakat.
Fenomena LSL dalam konteks penyebaran HIV/AIDS tentu perlu mendapatkan perhatian serius, namun penanganannya tidak cukup dengan hanya memberikan label “penyimpangan” atau “hukuman sosial”.
Pendekatan berbasis kesehatan dan pendidikan harus dikedepankan. Stigmatisasi dan ujaran kebencian yang menyebar di media sosial justru kontra-produktif dalam upaya mengendalikan epidemi. Alih-alih menyelesaikan masalah, komentar yang merendahkan cenderung menyingkirkan kelompok rentan ke ruang-ruang tersembunyi yang lebih sulit dijangkau program pencegahan.
Di sisi lain, masyarakat Pacitan yang dikenal religius dan kental nilai-nilai budaya Jawa tradisional, juga dihadapkan pada dilema moral dan sosial dalam merespons perubahan perilaku seksual di era digital. Diskusi mengenai nilai, norma, dan kesehatan publik harus dilakukan secara terbuka dan konstruktif, bukan dengan caci maki dan kebencian.
Pemerintah daerah bersama tokoh agama dan masyarakat sipil perlu memperkuat strategi edukasi dan intervensi berbasis komunitas. Pendekatan ini tidak hanya menyasar kelompok berisiko tinggi seperti LSL, tapi juga masyarakat luas untuk memahami bahwa HIV/AIDS bukan sekadar “dosa” atau “hukuman”, melainkan persoalan kesehatan serius yang bisa menimpa siapa saja.
Selain itu, perluasan akses terhadap layanan konseling, tes HIV sukarela (VCT), dan pengobatan ARV juga harus dipermudah dan disosialisasikan tanpa syarat atau diskriminasi.
Kasus HIV/AIDS yang meningkat di Pacitan bukan sekadar catatan medis, melainkan juga alarm sosial. Perlu refleksi mendalam bagi seluruh elemen masyarakat: apakah kita ingin menyelesaikan masalah, atau hanya memperburuk luka dengan hinaan dan penolakan?
Sebagaimana nilai-nilai luhur dalam agama dan budaya lokal, manusia diajarkan untuk menolong, bukan menghakimi. Untuk itu, langkah bersama yang mengedepankan keadilan, kasih sayang, dan ilmu pengetahuan, menjadi kunci untuk menyelamatkan generasi dari ancaman yang lebih besar di masa depan.***
Penulis : Jefri Asmoro Diyatno