Faktanews24.com – Pacitan, Pemerintah Kabupaten Pacitan resmi menerapkan sistem tiket elektronik (e-tiket) di sembilan destinasi wisata unggulan yang dikelola pemerintah daerah. Kebijakan ini disebut-sebut sebagai langkah modernisasi layanan publik sekaligus upaya mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD). Namun, di balik semangat digitalisasi ini, berbagai tantangan dan kerentanan justru muncul dan patut dicermati lebih jauh.
Langkah Cepat, Tapi Apakah Sudah Siap?
Sistem e-tiket memang menjanjikan efisiensi. Cukup dengan memindai QR code melalui gadget, wisatawan bisa masuk tanpa harus membayar tunai. Namun pertanyaannya: apakah semua pengunjung memiliki kapasitas dan akses untuk memanfaatkan sistem ini?
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) Kabupaten Pacitan menyebutkan bahwa tingkat penetrasi internet rumah tangga di Pacitan yaitu,”Rumah tangga yang anggota keluarganya mengakses internet: 75.72%. Rumah tangga yang anggota keluarganya tidak mengakses internet: 24.28%,” Tulisnya dikutip dari Laman web resmi Badan Pusat Statistik Provinsi Jawa Timur, pada Minggu, 15 Juni 2025.
Sementara menurut survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), masih ada ketimpangan literasi digital yang cukup besar, terutama di wilayah pedesaan dan kelompok usia di atas 50 tahun.
Artinya, sistem e-tiket ini berpotensi marginalisasi terhadap kelompok masyarakat tertentu, terutama:
1. Lansia yang tidak terbiasa dengan teknologi,
2. Pengunjung dari wilayah terpencil,
3. Wisatawan lokal yang masih dominan menggunakan pembayaran tunai.
Sinyal Lemah di Lokasi Wisata: Fakta Lapangan Bicara
Beberapa destinasi unggulan seperti Pantai Srau, Buyutan, dan Goa Tabuhan dikenal sebagai lokasi yang masih minim infrastruktur jaringan. Wisatawan di media sosial beberapa kali melaporkan sulitnya sinyal internet saat berada di kawasan wisata tersebut. Hal ini tentu berpotensi mengganggu proses pemindaian QR dan transaksi digital.
Tanpa jaringan stabil, sistem e-tiket justru akan menjadi hambatan baru dalam pelayanan, bukan solusi.
Masalah Klasik: SDM dan Pengawasan
Kepala Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olah Raga (Disparbudpora) Pacitan, Turmudi, menyatakan bahwa evaluasi dan pengawasan terus dilakukan. Namun, pengawasan menjadi pekerjaan rumah klasik yang belum juga tuntas di sektor pariwisata Pacitan.
“Kami tetap melayani pembayaran tunai, tapi sebisa mungkin diarahkan menggunakan sistem elektronik. Evaluasi dan pengawasan terus dilakukan,” Kata Turmudi saat dikonfirmasi wartawan pada Minggu, 15 Juni 2025.
Berdasarkan laporan BPK Perwakilan Jawa Timur Tahun 2022, terdapat sejumlah catatan terkait pengelolaan retribusi pariwisata, termasuk:
1. Kurangnya dokumentasi laporan pendapatan harian,
2. Tidak sinkronnya data tiket fisik dengan hasil akhir pendapatan.
Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Jawa Timur terhadap Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD) tahun 2022, ditemukan beberapa catatan terkait pengelolaan retribusi daerah di 38 pemerintah kabupaten/kota yang meraih opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP).
BPK Jatim menyoroti beberapa aspek, termasuk pengelolaan retribusi yang belum tertib dan penyusunan anggaran serta realisasi belanja yang belum sesuai ketentuan.
Berikut adalah beberapa poin catatan BPK terkait pengelolaan retribusi di Jawa Timur pada tahun 2022:
1. Pengelolaan Retribusi Daerah Belum Tertib:
BPK menemukan bahwa pengelolaan retribusi daerah belum dilakukan secara tertib di beberapa daerah. Ini bisa mencakup berbagai aspek, seperti ketidakpatuhan dalam pemungutan, penyetoran, atau pelaporan retribusi.
2. Penyusunan dan Realisasi Anggaran Belum Sesuai Ketentuan:
Terdapat catatan bahwa penyusunan anggaran dan realisasi belanja daerah belum sepenuhnya sesuai dengan peraturan yang berlaku. Hal ini bisa berkaitan dengan pengelolaan retribusi, seperti alokasi anggaran yang tidak tepat atau realisasi belanja yang tidak sesuai dengan rencana.
Meskipun 38 kabupaten/kota di Jawa Timur meraih opini WTP untuk LKPD 2022, BPK tetap memberikan catatan untuk perbaikan, terutama terkait pengelolaan keuangan daerah termasuk retribusi. Penting untuk dicatat bahwa opini WTP dari BPK bukan berarti bahwa pengelolaan keuangan daerah sudah sempurna. Ada kemungkinan masih terdapat kelemahan-kelemahan, yang diidentifikasi melalui catatan BPK. Oleh karena itu, pemerintah daerah perlu menindaklanjuti temuan dan rekomendasi BPK untuk meningkatkan kualitas pengelolaan keuangan daerah, termasuk retribusi.
Dengan e-tiket berbasis digital, potensi kebocoran memang bisa ditekan. Tapi tanpa sistem pengawasan digital yang kuat dan audit independen berkala, digitalisasi justru membuka kemungkinan manipulasi di balik sistem (backend), yang lebih sulit dilacak oleh masyarakat umum.
PAD Rp13 Miliar: Target Ideal atau Ilusi?
Target PAD sektor pariwisata tahun 2025 sebesar Rp13 miliar tentu ambisius. Namun dalam catatan historis, realisasi PAD dari sektor wisata Pacitan pada 2023 hanya berkisar di angka Rp6,8 miliar (Disparbudparpora Pacitan, laporan akhir tahun). Artinya, ada lonjakan target hampir 2 kali lipat.
Sementara itu, jumlah kunjungan wisatawan menurun pada triwulan pertama 2024 dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya, dipengaruhi faktor cuaca ekstrem, akses jalan rusak, dan promosi digital yang belum optimal.
“Coba besok, karena besok akan saya kumpulkan koordinator kawasan utk membuat konsep target,” Pungkasnya.
Dengan kondisi tersebut, menggantungkan optimisme PAD hanya dari sistem e-tiket tanpa memperbaiki fundamental lain seperti promosi destinasi, SDM petugas, kenyamanan wisatawan, dan infrastruktur dasar, bisa menjadi jebakan target semu yang berujung pada ketidaktercapaian.
Solusi Seharusnya: Bertahap dan Inklusif
Transformasi digital memang tidak bisa dihindari, tapi seharusnya dilakukan bertahap dan inklusif. Pemerintah dapat:
1. Menyediakan “help desk” di lokasi wisata untuk bantu wisatawan yang kesulitan dengan QR code,
2. Menyiapkan opsi offline yang tetap tercatat secara sistematis,
3. Melakukan audit sistem IT secara rutin untuk mencegah manipulasi,
4. Menyediakan jaringan WiFi publik gratis di lokasi-lokasi wisata,
5. Melibatkan masyarakat lokal dan pelaku usaha wisata kecil untuk diberdayakan, bukan ditinggalkan oleh sistem digital.
Jangan Terjebak “Digitalisasi Seremonial”
Penerapan e-tiket di destinasi wisata Pacitan memang terlihat progresif. Tapi jika hanya menjadi proyek seremonial yang tidak dibarengi kesiapan teknis dan sosial, maka risiko kegagalan justru lebih besar daripada manfaat yang diharapkan.
Digitalisasi seharusnya membuka akses lebih luas, bukan menutup peluang bagi masyarakat dan wisatawan yang belum sepenuhnya siap. Pemerintah dituntut tidak hanya “cepat dalam inovasi,” tetapi juga cermat dan adil dalam implementasi.***
Penulis : Jefri Asmoro Diyatno