FaktaNews24.com, Kuantan Singingi ][ Keberadaan kebun kelapa sawit seluas sekitar 400 hektar milik seorang pengusaha bernama Jupri di Desa Tanjung Medang, Kecamatan Hulu Kuantan, Kabupaten Kuantan Singingi, Provinsi Riau, tengah menjadi sorotan. Pasalnya, kebun tersebut diduga kuat tidak memiliki legalitas berupa Hak Guna Usaha (HGU) serta tak menunjukkan komitmen sosial terhadap warga sekitar dalam bentuk Corporate Social Responsibility (CSR).(27/5/2025)
Upaya konfirmasi yang dilakukan awak media terhadap Jupri dan manajernya, Juang, berujung pada pemblokiran nomor WhatsApp wartawan bernama Athia. Padahal, konfirmasi merupakan bagian dari tugas jurnalistik untuk memastikan kebenaran informasi dan menjaga keberimbangan pemberitaan.
Berawal dari informasi warga inisial Ap mengungkapkan adanya insiden cekcok antara salah satu warga dengan pria berinisial Bima, yang disebut sebagai anggota satuan Brimob dan bertugas sebagai pengamanan kebun Jupri. Peristiwa itu terjadi saat warga melintasi area kebun sambil membawa karung berisi brondolan sawit. Diduga, insiden tersebut terjadi karena adanya kecurigaan dari pihak keamanan kebun terhadap aktivitas warga.
Keresahan warga tidak hanya terkait aspek keamanan. Informasi yang dihimpun dari berbagai narasumber menyebutkan bahwa kebun kelapa sawit Jupri tidak memiliki izin resmi berupa HGU. Di lapangan, tidak ditemukan papan pengumuman legalitas kebun. Hal ini diperkuat oleh pernyataan beberapa tokoh masyarakat dan aparatur desa.
Andi, mantan Kepala Desa Tanjung Medang, menyatakan bahwa sejak dulu tidak pernah ada dana CSR dari kebun tersebut masuk ke desa. Ia juga menuturkan bahwa asal-usul kepemilikan kebun tersebut tidak diketahui secara jelas, termasuk surat-surat resmi pembelian lahan.
“Kalau soal HGU, saya tidak tahu apakah sudah diurus atau belum. Soal luas kebunnya, pertama kali sekitar 300 hektar, kemudian ada tambahan yang ditanam sekitar 1–2 tahun lalu, tapi tidak sampai 100 hektar,” jelas Andi saat diwawancarai.
Musliadi, Penjabat Kepala Desa Tanjung Medang, mengungkapkan hal serupa. “Soal CSR tidak ada. Kalau warga ada acara dan membawa proposal, entah diberi atau tidak, kami tidak tahu pasti. Luas kebun dan tahun tanamannya juga saya tidak hafal,” ujarnya.
Sidut, salah satu Ninik Mamak di desa tersebut, menguatkan dugaan bahwa kebun Jupri bisa jadi masuk dalam kawasan hutan. Ia juga menyebut bahwa dalam setiap acara budaya seperti Pacu Jalur, kebun tersebut tidak pernah memberi bantuan berarti. “Kalau pun diberi, hanya sekitar Rp150 ribu. Itu bukan bentuk tanggung jawab sosial,” katanya.
Keterangan mengejutkan datang dari Dalin, yang disebut sebagai Humas kebun tersebut. Dalam wawancara via telepon pada 1 Juni 2024, ia mengaku tidak pernah melihat selembar pun dokumen resmi terkait legalitas kebun.
“Kalau saya dibilang Humas, bingung juga. Hak dan kewajiban saya tidak jelas. Surat-menyurat tidak pernah saya lihat. Sejak jadi Humas tahun 2013/2014, kebun itu sudah panen. Tapi saya tidak tahu apakah HGU dan izin lainnya ada atau tidak,” ungkapnya.
Dalin juga menyebut bahwa kebun tersebut awalnya dibeli dari beberapa warga secara bertahap. Ia mengungkap bahwa pemilik kebun adalah Jupri, yang disebut-sebut warga keturunan Tionghoa dari Medan, dan kini tinggal di Pekanbaru. Sementara manajer kebun adalah Juang, yang juga disebut berasal dari etnis yang sama.
Upaya konfirmasi terakhir dilakukan wartawan Athia terhadap Juang selaku manajer kebun. Namun, ia hanya menjawab singkat via WhatsApp, “Minta saja sama Pak Humas nomor Bima dan bicarakan sama Humas saja.” Setelah itu, nomor WhatsApp wartawan langsung diblokir.
Kasus ini menyisakan sejumlah pertanyaan penting: Bagaimana kebun seluas hampir 400 hektar bisa beroperasi tanpa kejelasan izin? Mengapa tidak ada tanggung jawab sosial terhadap masyarakat sekitar? Dan siapa yang seharusnya mengawasi hal ini?
Seiring meningkatnya keresahan masyarakat, tokoh adat dan warga berencana untuk menggelar pertemuan guna membahas langkah lanjutan atas keberadaan kebun tersebut. “Akan kami rundingkan bersama masyarakat,” ujar Sidut.
Pemerintah daerah, aparat penegak hukum, serta instansi terkait diharapkan turun tangan menyelidiki legalitas kebun sawit milik Jupri. Keterbukaan informasi, transparansi pengelolaan, dan tanggung jawab sosial mutlak diperlukan demi terciptanya keadilan dan ketertiban di tengah masyarakat desa.