FaktaNews24.com – LEBAK, BANTEN ][ Berita yang tayang pada tanggal 8 Mei 2025 dengan judul, “Investigasi Khusus Dugaan KKN dan Eksploitasi Pekerja Oleh PT SGI dan Hajah Esih”
Kini menjadi pertanyaan publik, pasalnya setelah berita tayang dengan judul” Investigasi khusus dugaan KKN dan Eksploitasi Pekerja Oleh PT SGI dan Hajah Esih” . Fanggi Dwi Kusuma warga Kp. Mulih desa Cemplang RT 021, RW 004 kecamatan Jawilan kabupaten Serang provinsi Banten, ia merupakan salah satu narasumber (Narsum) yang pada saat itu menjelaskan dengan sangat gamblang dan sadar kepada awak media SOROTREPUBLIKA, namun saat ini ia meminta media sorotrepublika untuk menghapus (ditarik) beritanya atas permintaan Hajah Esih katanya. ia menyampaikan berita yang tayang itu adalah hoax dan Hajah Esih mengancam Banyak uang untuk bayar pengacara.
Ketika di hubungi, Alan Somantri selaku Pimpinan media Sorot Republika,com, terkait berita soal dugaan Pungli kepada pekerja yang masuk di PT SGI melalui Hajah Esih, ia menyampaikan: Kami menayangkan berita tentu sudah kami analisa. Jadi jika ada yang keberatan silahkan menghubungi kami, atau kalau ada yang mempermasalahkan seperti apa yang dikatakan oleh seseorang yang katanya punya banyak uang dan pengacara dan akhir nya ke rana hukum, bagi kami tidak masalah dan kami berharap dengan adanya pemberitaan ini masalahnya jadi terbuka semua dan terang benderang.” Tandasnya.
kilas balik yang disampaikan kepada awak media, dengan sadar Narsum menceritakan bahwa merasa dibujuk dan ditawari janji manis oleh Hajah Esih, “kerja kontrak dengan gaji tetap” yang diberikan PT Siera Guitar Indonesia (SGI) di Rangkasbitung, Lebak, Banten.
Terkuak dugaan praktik pungutan liar dan kolusi yang menyeret nama Hajah Esih—sosok non-resmi perusahaan yang diduga memungut biaya antara Rp. 3-4 jutaan dari setiap pencari kerja.
Ironisnya, Hajah Esih bukan bagian dari manajemen perusahaan, melainkan dikenal sebagai kerabat Kepala Desa Mekarsari, tempat pabrik SGI berdiri. Posisi inilah yang diduga membuatnya leluasa merekrut warga secara informal.
Sejumlah mantan pekerja mengungkap bahwa mereka direkrut dengan iming-iming kerja kontrak jangka panjang. Namun kenyataannya, kontrak dimulai selama 3 bulan, lalu dievaluasi untuk kemudian diperpanjang 3 bulan berikutnya. Setelah total 6 bulan bekerja, mereka diberhentikan tanpa kepastian kelanjutan kerja.
“Saya bayar Rp4 juta lewat Hajah Esih. Masuk kerja 3 bulan dulu, katanya kalau bagus bisa lanjut. Saya lanjut 3 bulan lagi, tapi setelah itu nggak ada kelanjutan. Katanya tunggu proyek baru, tapi nggak jelas kapan,” ungkap salah satu korban yang meminta identitasnya disembunyikan.
PT SGI Diduga Biarkan Nama Digunakan
Meski bukan bagian resmi dari perusahaan, Haji Esih diduga bebas menggunakan nama PT SGI untuk merekrut tenaga kerja. Perusahaan pun hingga saat ini belum memberikan klarifikasi atas dugaan penggunaan nama dan reputasinya untuk pungutan ilegal tersebut.
Fakta di lapangan menunjukkan bahwa pungutan dilakukan tanpa kwitansi, tanpa surat perjanjian tertulis, hanya berdasarkan janji lisan dan kepercayaan terhadap sosok Hajah Esih yang dianggap “punya jalur”.
Jejak Kolusi dan Nepotisme
Hajah Esih disebut memiliki hubungan keluarga langsung dengan Kepala Desa Mekarsari. Hal ini menimbulkan dugaan bahwa proses rekrutmen melalui jalur informal ini tidak berdiri sendiri. Warga mempertanyakan: Apakah uang pungutan liar itu berhenti di tangan Hajah Esih, atau mengalir lebih jauh ke oknum pemerintahan desa?
Hingga berita ini diturunkan, Pemerintah Desa Mekarsari belum memberikan keterangan resmi.
Pola Eksploitasi Sistematis
Hasil penelusuran tim investigasi menunjukkan pola sistematis yang menjerat para pekerja:
Pungli Berkedok Jalur Khusus: Biaya Rp3-4 juta tanpa bukti resmi.
Kontrak Bertahap Tanpa Kepastian: 3 bulan pertama sebagai “uji coba”, kemudian 3 bulan kedua, lalu diberhentikan tanpa alasan tertulis.
Janji Palsu Proyek Baru: Para korban terus digantung dengan janji akan dipanggil kembali jika ada “pabrik baru” atau produksi tambahan.
Dorongan Investigasi Mendalam
Sejumlah aktivis dan pemerhati ketenagakerjaan kini menuntut keterlibatan lembaga penegak hukum untuk mengusut:
Dugaan pungutan liar yang dilakukan oleh Hajah Esih.
Keterkaitan antara PT SGI, pihak desa, dan jalur informal rekrutmen ini.
Potensi pelanggaran terhadap UU Ketenagakerjaan No. 13 Tahun 2003, khususnya tentang larangan pembebanan biaya perekrutan kepada pencari kerja.
“Kalau ini dibiarkan, ini bisa jadi pintu masuk bagi mafia tenaga kerja di daerah,” ujar seorang aktivis yang turut mengadvokasi korban.
Tuntutan Masyarakat
Masyarakat mendesak:
1.Pengusutan tuntas oleh Kepolisian dan Kementerian Ketenagakerjaan terhadap praktik ini.
2.Transparansi dari pemerintah desa* mengenai posisi dan peran Hajah Esih.
3.Kompensasi bagi para korban sesuai dengan ketentuan hukum ketenagakerjaan yang berlaku.
Kasus ini menjadi cerminan bahwa praktik pungli dan jalur rekrutmen informal masih menjadi masalah serius di akar rumput. Hajah Esih hanyalah wajah dari sistem yang lebih besar—sistem yang harus dibongkar, demi keadilan bagi para pencari kerja.
Sampai berita ini tanyang kami masi menggali informasi kepada pihak pihak terkait.
Sumber: Pengaduan Korban & Analisis Data Publik