Faktanews24.com – Pacitan, Laut selatan kembali menelan korban. Keindahan muara Pantai Pancer Door, Pacitan, yang selama ini menjadi destinasi favorit wisatawan, berubah menjadi saksi bisu tragedi menyayat hati. Satu keluarga asal Mojokerto kehilangan empat anggota keluarganya sekaligus setelah terseret arus deras di muara Sungai Grindulu pada Kamis, 19 Juni 2025. Tragedi ini menorehkan luka mendalam di tengah riuhnya libur pertengahan tahun.
Tim SAR gabungan yang sejak hari kejadian melakukan pencarian intensif, akhirnya menemukan korban terakhir, Aminah Nayyifatul Mardliyah (12), pada Sabtu malam, 21 Juni 2025, sekitar pukul 20.15 WIB dalam kondisi tidak bernyawa. Korban ditemukan masih dalam radius 100 meter dari titik awal musibah.
“Alhamdulillah, korban keempat sudah ditemukan. Seluruh korban ditemukan di sekitar lokasi awal, sehingga operasi SAR resmi kami hentikan,” ujar Koordinator SAR Trenggalek, Nanang Pujo, kepada wartawan.
Sebelumnya, korban pertama Azmil Mukaromah (45) ditemukan pada Jumat (20/6), disusul dua korban anak-anak, Aisyah Arifatul Khoir (10) dan Asna Amalia At Tazkiah (11). Semua korban adalah warga Desa Kedungmaling, Kecamatan Sooko, Kabupaten Mojokerto, yang tengah berlibur ke Pacitan usai mengunjungi Pondok Pesantren Tremas di Arjosari.
Jenazah korban langsung dievakuasi ke Instalasi Forensik RSUD dr. Darsono Pacitan untuk proses identifikasi. Setelah proses pemulasaran, jenazah dipulangkan dan dimakamkan berdampingan di Mojokerto, dalam suasana yang sarat isak tangis.
Peristiwa bermula saat lima orang anggota keluarga tersebut bermain air di sekitar muara Sungai Grindulu, sebuah kawasan di mana aliran sungai bertemu langsung dengan gelombang laut selatan. Tanpa disadari, tiga anak perempuan terseret ombak kuat. Sang ibu, Azmil Mukaromah, spontan berusaha menolong mereka tetapi justru ikut tenggelam bersama putrinya. Hanya satu anak yang berhasil selamat dalam insiden ini.
Sejak Kamis, operasi pencarian dilakukan oleh gabungan personel dari Basarnas, BPBD Pacitan, TNI AL, Polairud, relawan SAR, serta warga setempat. Mereka menyisir daratan, pesisir, dan muara dengan perahu karet.
Menyikapi tragedi ini, BPBD Pacitan menyampaikan imbauan keras kepada masyarakat dan wisatawan menjelang puncak musim liburan.
“Diharapkan masyarakat di musim libur ini untuk memperhatikan kondisi cuaca, menghindar dari pohon yang kelihatan lapuk karena angin kencang dapat menyebabkan pohon tumbang, serta hindari daerah yang rawan akan longsor. Untuk yang berwisata, patuhi pedoman atau rambu-rambu kebencanaan, baik papan informasi maupun petunjuk lain seperti jalur evakuasi,” terang Radite Suryo Anggono, Kepala Bidang Kedaruratan dan Logistik BPBD Pacitan, saat diwawancarai Minggu, 22 Juni 2025.
BPBD juga menegaskan bahwa bencana di alam terbuka tidak selalu bisa dikenali secara visual. Lokasi wisata yang tampak tenang bisa menjadi berbahaya saat cuaca berubah gelombang bisa naik mendadak, arus bawah bisa menguat, dan potensi longsor mengintai di lereng-lereng curam.
Tragedi ini juga membuka ruang diskusi tentang pentingnya mendengarkan peringatan dari warga lokal. Menurut Siti Chamariah, warga Pacitan, pengunjung dari luar daerah sering kali mengabaikan saran atau larangan warga tentang bahaya alam.
“Harusnya menjadi pesan, atau kita bisa mengirimkan pesan tentang kearifan lokal. Bahwa para wisatawan dari luar kota hendaknya benar-benar memperhatikan peringatan-peringatan dari warga lokal tentang ancaman potensi bahaya, terutama tentang ombak di pantai selatan Pacitan. Lepas dari percaya dan tidaknya adanya hal-hal ghaib yang dipercaya masyarakat lokal,” ujarnya.
Menurut Siti, peringatan yang mungkin terdengar mistis, sejatinya merupakan pengetahuan berbasis pengalaman turun-temurun. Warga pesisir dapat membaca tanda-tanda alam seperti suara binatang, arah angin, warna air, bahkan gelagat langit sebelum bencana terjadi.
Pacitan memang tak pernah habis menawarkan panorama. Mulai dari Pantai Klayar, Teleng Ria, Banyu Tibo, Watu Karung, hingga goa-goa karst seperti Goa Gong dan Goa Tabuhan. Namun potensi wisata yang luar biasa ini harus dibarengi dengan peningkatan sistem keselamatan dan kesadaran publik.
Empat nyawa yang hilang bukan sekadar angka statistik. Di baliknya, ada duka mendalam, ada keluarga yang kehilangan, dan ada pelajaran besar bagi kita semua. Musibah ini menjadi peringatan bahwa keselamatan adalah hak setiap wisatawan, dan kewajiban setiap pengelola serta individu yang mengunjungi tempat wisata.***
Penulis : Jefri Asmoro Diyatno