Berita Nasional

Anggaran Triliunan Dipertanyakan, Usulan Dana MBG Langsung ke Siswa Menguat di Tengah Kritik Pemborosan

24
×

Anggaran Triliunan Dipertanyakan, Usulan Dana MBG Langsung ke Siswa Menguat di Tengah Kritik Pemborosan

Sebarkan artikel ini
Img 20251226 Wa0399

Faktanews24.com – Pacitan, Program Makan Bergizi (MBG) yang digadang-gadang sebagai salah satu program prioritas nasional kini menuai sorotan tajam dari berbagai kalangan. Mulai dari ekonom, legislator, hingga masyarakat daerah menilai pelaksanaannya, terutama saat masa libur sekolah, berpotensi menimbulkan pemborosan anggaran negara jika tidak segera dievaluasi secara menyeluruh.

Sorotan tersebut menguat setelah Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa melontarkan gagasan agar skema penyaluran MBG diubah. Ia mengusulkan agar dana bantuan tidak lagi disalurkan dalam bentuk makanan siap saji melalui penyedia jasa, melainkan diberikan langsung kepada siswa atau keluarga penerima manfaat.

Menurut Purbaya, skema tersebut dinilai lebih efisien, fleksibel, dan adaptif terhadap kebutuhan riil di lapangan. Selain mencegah pemborosan makanan, keluarga juga dapat menyesuaikan menu sesuai kebutuhan gizi anak. Bahkan, jika tidak seluruhnya digunakan, dana tersebut bisa disimpan atau dialokasikan untuk kebutuhan lain yang lebih mendesak.

“Anggarannya tetap Rp15 ribu per siswa per hari atau sekitar Rp300 ribu per bulan. Yang diubah hanya mekanisme penyalurannya agar lebih tepat sasaran dan meminimalkan kebocoran,” ujar Purbaya dalam keterangannya.

Kritik juga datang dari kalangan ekonom. Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Nailul Huda, menilai pelaksanaan MBG saat masa libur sekolah tidak masuk akal secara fiskal.

“Ketika anak-anak tidak bersekolah, tetapi makanan tetap diproduksi dan didistribusikan, ini jelas pemborosan. Uang pajak masyarakat digunakan tanpa manfaat optimal,” tegasnya.

Huda memaparkan, hingga Desember 2025 terdapat sekitar 17.555 Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) di seluruh Indonesia. Masing-masing menyiapkan kurang lebih 3.000 porsi per hari. Artinya, selama libur sekolah, terdapat sekitar 526,65 juta porsi makanan yang tetap diproduksi.

“Jika dikalikan dengan harga rata-rata Rp15 ribu per porsi, maka ada sekitar Rp7,9 triliun anggaran yang dihabiskan. Pertanyaannya, apakah ini bijak, sementara di saat yang sama masyarakat di Aceh, Sumatera Barat, hingga Sumatera Utara sedang menghadapi bencana dan membutuhkan bantuan mendesak?” katanya.

Huda juga menyoroti pola pengadaan MBG yang dinilai justru menguntungkan pelaku usaha besar. Skema penyediaan makanan siap saji seperti biskuit, susu kemasan, dan produk olahan pabrikan dinilai tidak memberikan dampak ekonomi signifikan bagi petani lokal maupun pedagang kecil.

“Triliunan rupiah itu mengalir ke perusahaan besar, bukan ke petani sayur, peternak, atau pedagang pasar. Yang diuntungkan adalah korporasi, bukan rakyat kecil,” tegasnya.

Padahal, menurut Huda, salah satu tujuan utama MBG adalah membentuk pola konsumsi sehat melalui makanan segar dan bergizi. Tujuan tersebut sulit tercapai jika program justru didominasi produk olahan instan.

Sorotan serupa juga datang dari parlemen. Wakil Ketua Komisi IX DPR RI, Charles Honoris, menilai pelaksanaan MBG saat libur sekolah perlu ditinjau ulang secara serius.

“Dalam situasi darurat seperti banjir dan bencana alam lainnya, anggaran seharusnya bisa dialihkan sementara untuk pemulihan gizi masyarakat terdampak dan perbaikan layanan kesehatan,” ujarnya.

Ia menegaskan bahwa keberpihakan anggaran harus berbasis pada urgensi dan kebutuhan nyata di lapangan, bukan sekadar mempertahankan program tanpa mempertimbangkan kondisi sosial yang berkembang.

Kritik juga datang dari masyarakat di daerah, termasuk di Kabupaten Pacitan. Sejumlah warga mengeluhkan lonjakan harga bahan pokok yang diduga berkaitan dengan meningkatnya permintaan dari dapur MBG.

“Sekarang harga bahan pokok naik semua. Yang untung justru pemilik dapur MBG, bukan masyarakat kecil,” ungkap seorang warga yang enggan disebutkan namanya.

Kondisi ini memunculkan kekhawatiran bahwa tujuan mulia MBG untuk meningkatkan gizi anak justru bergeser menjadi ladang keuntungan bagi segelintir pihak.

Berbagai kritik tersebut memperkuat desakan agar pemerintah segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Program Makan Bergizi, khususnya di masa libur sekolah. Publik berharap pemerintah lebih fleksibel, transparan, dan responsif, termasuk membuka opsi penyaluran langsung atau pengalihan anggaran ke sektor yang lebih mendesak.

Dengan anggaran triliunan rupiah yang dipertaruhkan, publik menuntut agar program strategis nasional ini benar-benar berpihak pada rakyat, bukan sekadar menjadi angka besar dalam laporan keuangan negara.***

Penulis : Jefri Asmoro Diyatno