Muara enim – kembali jadi panggung ironi penegakan hukum. Di satu sisi, Ditreskrimsus Polda Sumsel tampil gagah melakukan patroli udara dengan helikopter, menyisir jalur truk batubara ilegal, hingga memamerkan ekskavator yang berhasil diamankan dari semak belukar.
Semua terkesan rapi, terstruktur, bahkan heroik.
Namun, di sisi lain, realita berbicara lain. Setiap malam, ratusan truk batubara ilegal tetap melintasi jalanan Desa Darmo hingga Tanjung Enim. Debu menutup rumah warga, jalan rusak parah, dan kebun hancur akibat tonase berlebih.
Tidak jarang warga harus mengalah, menutup jendela rapat-rapat agar anak-anak mereka bisa tidur tanpa batuk. Lalu di mana hasil dari operasi yang begitu gegap gempita?
Presiden sudah tegas memerintahkan pemberantasan tambang ilegal tanpa pandang bulu.
Tapi mengapa di Sumsel, khususnya Muara Enim, aktivitas ilegal tetap berjalan seolah tak tersentuh? Apakah operasi Ditreskrimsus hanya sebatas formalitas demi pencitraan semata, sekadar memoles wajah hukum agar terlihat gagah di media?
Lebih ironis lagi, masyarakat justru menyebut nama-nama aparat yang diduga terlibat sebagai beking: Ervan dari kesatuan Intelebong TNI, serta Agus dan Suhut dari Polisi Militer.
Jika benar, maka persoalannya bukan lagi sekadar tambang ilegal, melainkan rusaknya marwah penegakan hukum itu sendiri. Di titik ini, publik wajar bertanya: bagaimana mungkin hukum bisa tegak, bila penegaknya justru diduga ikut bermain di lingkaran bisnis hitam?
Sejumlah tokoh masyarakat bahkan mengaku sudah berulang kali menyampaikan keresahan mereka. Dari forum musyawarah desa, aksi protes, hingga surat terbuka. Namun suara rakyat kerap hilang ditelan kepentingan yang lebih besar.
“Kami ini bukan minta macam-macam. Hanya ingin jalan kami tidak rusak, rumah kami tidak berdebu, dan anak-anak kami tidak sakit,” ujar salah satu warga dengan nada getir.
Sementara itu, desas-desus mengenai aliran fee ke tingkat desa menambah panjang daftar ironi. Kades yang seharusnya menjadi benteng terakhir kepentingan rakyat, justru diduga ikut menikmati keuntungan dari mafia tambang. Bagi warga, hal ini semakin mempertegas bahwa mereka dibiarkan berhadapan dengan penderitaan, tanpa perlindungan dari pemerintah desa maupun aparat penegak hukum.
Kini bola ada di tangan Ditreskrimsus Polda Sumsel. Publik menanti jawaban: apakah benar-benar menjadi garda depan pemberantasan tambang ilegal, atau justru menjadi bagian dari bekingan yang membuat hukum tampak bobrok di mata rakyat? Jika diam, maka diam itu bisa diartikan sebagai pembenaran.
Satu hal yang pasti, masyarakat sudah muak. Mereka menuntut keadilan nyata, bukan sekadar operasi pencitraan. Karena bagi rakyat kecil, hukum yang tebang pilih hanya akan terus menambah luka, sementara mafia tambang terus berpesta di atas penderitaan mereka.