Faktanews24.com-Banda Aceh Dalam berbagai forum diskusi, berita, hingga obrolan di warung kopi di Banda Aceh, masyarakat kerap membahas soal kemiskinan yang tak kunjung sirna meski Aceh sudah dua dekade menikmati Dana Otonomi Khusus (Otsus).
Jalan-jalan memang mulai mulus, gedung-gedung Pemerintahan menjulang, tapi di banyak desa nelayan dan pegunungan, anak-anak masih harus berjuang demi bisa sekolah, sementara orang tuanya berpeluh mencari nafkah.
Kondisi inilah yang membuat pengamat ekonomi dan bisnis Universitas Syiah Kuala (USK), Dr. Amri, SE., M.Si., bersuara lantang. Menurutnya, Aceh tak boleh hanya puas dengan skema Otsus yang terus menurun.
“Aceh pantas mendapat 2,5 persen Dana Otsus dari Dana Alokasi Umum (DAU) nasional, dan itu harus berlaku selamanya,” ujarnya, menegaskan pentingnya keadilan fiskal bagi Tanah Rencong.
Pengamat Ekonomi dan Bisnis itu menilai bahwa Aceh sangat pantas untuk mendapatkan Dana Otonomi Khusus (Otsus) sebesar 2,5 persen dari DAU nasional yang harus berlaku permanen.
Menurutnya, permintaan rakyat Aceh ini bukan hanya soal angka, tetapi juga bentuk penghargaan negara terhadap jasa dan kontribusi besar Aceh dalam perjalanan sejarah kemerdekaan bangsa Indonesia.
“Jika melihat aspek historis, sosiologis, filosofis, yuridis, hingga sosial-ekonomi, maka tidak berlebihan bila Aceh mendapatkan porsi dana Otsus lebih besar dan berkelanjutan,” ujarnya.
“Harus diketahui semua orang hidup di negeri ini, bahwa Aceh punya catatan panjang dalam memperjuangkan kemerdekaan sekaligus menjadi daerah modal bagi Republik ini,” tegasnya, saat wawancara dengan wartawan Faktanews, Sabtu 13 September 2025.
Jejak Historis dan Filosofis
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis USK itu menjelaskan, secara historis, dana Otsus Aceh lahir dari kesepakatan MoU Helsinki tahun 2005 yang mengakhiri konflik bersenjata panjang di Aceh.
Kesepakatan tersebut kemudian melahirkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA).
“Dana Otsus adalah bagian dari upaya perdamaian sekaligus kompensasi untuk membangun Aceh pasca konflik dan bencana tsunami,” terangnya.
Secara filosofis, kata Dr Amri, dana Otsus untuk Aceh juga wujud pengakuan atas identitas dan keistimewaan Aceh sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam.
“Ini adalah bagian dari rekonsiliasi nasional sekaligus penguatan jati diri rakyat Aceh agar tetap sejalan dengan Pancasila dala, bingkai NKRI,” tambahnya.
Payung Yuridis dan Dampak Sosial Ekonomi
Secara yuridis, UU Nomor 11 Tahun 2006 menegaskan bahwa Aceh berhak mendapatkan dana Otsus selama 20 tahun, mulai 2008 hingga 2027.
Pada awalnya, alokasi tersebut sebesar 2 persen dari DAU nasional hingga 2022, kemudian menurun menjadi 1 persen hingga 2027.
Namun, menurut Dr. Amri, penurunan alokasi dana Otsus untuk Aceh tersebut kontraproduktif dengan kondisi sosial-ekonomi rakyat Aceh.
“Hingga kini, Aceh masih menjadi provinsi termiskin di Sumatera dan nomor lima termiskin di Indonesia. Tingkat pengangguran masih tinggi, sementara pembangunan belum merata. Maka, dana Otsus seharusnya diperkuat, bukan justru dipangkas,” jelasnya.
Usulan 2,5 Persen Selamanya
Sebagai solusi, Dr. Amri mengusulkan agar dana Otsus Aceh ditetapkan sebesar 2,5 persen dari DAU nasional dan berlaku tanpa batas waktu. Menurutnya, hal ini bukan sekadar kebutuhan fiskal, tetapi juga keadilan sosial.
“Jika Aceh mendapat porsi 2,5 persen secara permanen, maka akan ada kepastian fiskal untuk program pengentasan kemiskinan, penciptaan lapangan kerja, serta pembangunan infrastruktur. Dengan begitu, Aceh bisa sejajar dengan provinsi lain di Indonesia,” katanya.
Kini, kata Dr Amri, persoalannya tinggal pada kemauan politik pemerintah pusat, apakah mau melihat Aceh bangkit sejajar dengan provinsi lain, atau membiarkan Tanah Rencong terus terjebak dalam lingkaran kemiskinan meski kaya sumber daya.
“Jika negara benar-benar menghargai jasa Aceh bagi republik ini, maka 2,5 persen Dana Otsus bukan sekadar usulan, melainkan kewajiban yang harus segera diwujudkan,” pungkasnya.(M.Amin)