Faktanews24.com – Pacitan, Fenomena mengejutkan terjadi di dunia jurnalistik Pacitan. Tiga mantan ketua Forum Pewarta Pacitan (FPPA) Yuniardi Sutondo, Danur Suprapto, dan Agus Wibowo hari ini, Jumat, 18 Desember 2025 pukul 10.30 WIB, mengadakan pertemuan tertutup yang mengusik tatanan organisasi wartawan di kota ini.
Pertemuan yang digelar di tengah ketenangan akhir tahun ini menimbulkan pertanyaan besar: Apakah FPPA masih berjalan sesuai tujuan atau justru menjadi ajang “tebar pesona” semata?
Ketiga mantan ketua FPPA ini menegaskan satu hal: mereka merasa memiliki tanggung jawab moral untuk “mengawal” organisasi ini, tak peduli siapa yang menjabat sebagai ketua saat ini.
Yuniardi Sutondo, mantan ketua FPPA pertama yang menjabat dua periode, secara blak-blakan menyebut posisi ketua sebagai “luar biasa”: “Jabatan ini tidak bergaji tapi mentereng, memiliki akses luas dan pengaruh tinggi. Tak heran banyak yang mengincarnya,” ungkapnya.
Sementara Agus Wibowo menyoroti soal tanggung jawab kepemimpinan. Dengan bahasa Jawa tegas, ia mengingatkan: “Dadi pemimpin ora mung gebyar e, tapi tanggung jawab lan kemajuan e organisasi ugo perlu perhatekne.” Tidak hanya itu, ia memberi peringatan pedas bagi anggota FPPA yang akan memilih ketua baru: “Berpikir rasional dan objektif itu penting bagi pemilih yang memiliki hak suara di Februari 2026 nanti.”
Danur Suprapto, mantan ketua dua periode di masa pandemi, menambahkan kritik pedas: FPPA saat ini disebutnya seperti “organisasi tanpa arah.” Balai wartawan yang luas dan megah, menurut Danur, kini terbengkalai dan tidak berfungsi. Ia menekankan: “Kantor balai harusnya bisa jadi media center, lokasi kegiatan komersil atau sosial. Saat ini saya prihatin karena tidak maksimal penggunaannya.”
Tidak cukup sampai di situ, Danur juga menyoroti rapat tahunan FPPA yang nyaris tak pernah terlaksana: “Rapat satu tahun dua kali, rapat tahunan untuk program, rapat akhir tahun untuk laporan wajibnya, hingga akhir 2025 belum ada tanda-tanda undangan rapat penutup dari Ketua FPPA.”
Pertanyaan besar pun muncul di tengah publik: Apakah FPPA akan tetap menjadi organisasi pengembangan SDM dan jurnalistik, ataukah telah terseret ke pusaran politik kepentingan, gengsi, dan pertarungan kekuasaan?
Apakah ketua FPPA saat ini mampu membangkitkan fungsi organisasi, atau hanya menjadi “pajangan mentereng” tanpa arah? Dan yang lebih menggemparkan: Akankah publik dan anggota FPPA membiarkan organisasi ini terjebak stagnasi hingga 2026?
Kritikus menilai, jika tak ada langkah tegas, FPPA bisa kehilangan legitimasi sebagai wadah profesional wartawan di Pacitan, dan publik pun harus bertanya: Siapa sebenarnya yang memimpin, dan untuk siapa organisasi ini bekerja?***
Penulis : Jefri Asmoro Diyatno












