Faktanews24.com – Pacitan, Siapa sangka, pantai yang selama ini dikenal romantis dan tenang itu berubah menjadi ruang gelap penuh bisik dan ketegangan. Pada Jumat malam, 12 Desember 2025, Pantai Pancer Door, Pacitan, resmi mencatat sejarah sebagai lokasi lahirnya Festival Film Horor (FFH) 2025, festival film horor pertama di Indonesia bukan di gedung bioskop megah, melainkan di bibir laut Selatan yang berangin dan bergemuruh.
Lebih dari 1.000 pengunjung memadati kawasan pantai. Lampu-lampu temaram menyala, kursi disusun rapat, layar berdiri menghadap laut. Angin kencang membawa aroma asin, senja meredup perlahan, dan suasana seolah sengaja disiapkan untuk satu pertanyaan besar: apakah horor hanya soal takut, atau justru tentang cara kita memahami kehidupan?

Festival ini diinisiasi oleh Garin Nugroho, sutradara kawakan Indonesia yang selama puluhan tahun berkiprah di festival internasional. Sebanyak 285 film horor dari sineas seluruh Indonesia masuk seleksi sebuah angka yang sekaligus menjadi sinyal kuat betapa genre horor telah mengakar dalam industri film nasional.
Pantai Pancer Door malam itu tidak lagi menjadi sekadar destinasi wisata. Nuansa romantisnya disulap menjadi ruang serius dan kontemplatif. Alunan musik keroncong dari Keroncong Sinoman dan Keroncong Harmoni mengalun lirih, membawa penonton pada nostalgia bioskop layar tancap masa lalu namun dengan ketegangan khas sinema horor.

Menjelang malam, sekitar pukul 19.30 WIB, pembukaan festival dimulai dengan cara yang tak lazim. Bupati Pacitan, Indrata Nur Bayu Aji, jajaran pemerintah daerah, sineas, dan tamu undangan diarak bersama penari rontek dari Sanggar Pradapa Lokabakti yang mengenakan kostum hantu-hantu lokal. Tradisi, mitologi, dan seni pertunjukan menyatu dalam satu arak-arakan yang membuat bulu kuduk berdiri.
Direktur Festival FFH 2025, Idham Nugrahadi, membuka acara dengan sambutan penuh optimisme. Momen tersebut dilanjutkan dengan video orasi Garin Nugroho, selaku Festival Board FFH 2025, yang menegaskan bahwa horor bukan sekadar hiburan murahan.

“Film horor merefleksikan berbagai aspek kehidupan masyarakat Indonesia adat, folklor, legenda, religi, hingga cara berpikir dan bertindak. Tak bisa dipungkiri, 70 persen film Indonesia adalah film horor, dan itulah penopang terbesar industri film kita,” tegas Garin.
Pernyataan itu memantik pertanyaan: jika horor begitu dominan, mengapa selama ini jarang diperlakukan serius sebagai medium kritik sosial dan budaya?

Puncak pembukaan ditandai dengan seremoni menyalakan api petromaks oleh Bupati Pacitan di panggung yang sengaja diredupkan. Cahaya api berpendar di tengah gelap, menciptakan simbol perlawanan sinema bahwa film horor berhak memiliki panggung terhormat dalam diskursus budaya.
Sebagai film pembuka, diputar film undangan “Pelabuhan Berkabut” produksi Kura Kura Film. Film berdurasi 17 menit ini tak hanya memicu adrenalin penonton, tetapi juga mengangkat isu serius: stunting, krisis ekologi, dan ketahanan pangan. Diskusi usai pemutaran menghadirkan Saka Guna Wijaya, putra Pacitan yang berpengalaman di industri film nasional, membedah bagaimana horor bisa menjadi bahasa kritik yang efektif.

FFH 2025 turut dihadiri sederet nama penting dunia film Indonesia. Mulai dari Siti Fauziah (Bu Tejo dalam film Tilik), sutradara BW Purbanegara dan Hestu Saputra, hingga kritikus film nasional Ekky Imanjaya. Hadir pula akademisi dan pengkaji film dari berbagai kampus ternama seperti UGM, IKJ, ISI Solo, dan ISI Jogja.
Kolaborasi kuat juga datang dari JAFF Community Forum, Omah Jayeng & Garin Art Lab, serta kehadiran Dennis Adhiswara sebagai Public Lecture FFH 2025.

Menjadi yang pertama di Indonesia, Festival Film Horor 2025 bukan hanya peristiwa budaya, melainkan penanda arah baru perfilman nasional. Dari bibir laut Pacitan, horor tidak lagi sekadar soal jump scare dan teriakan, melainkan ruang refleksi, kritik, dan pembacaan ulang jati diri bangsa.
“Perayaan film horor di Pacitan adalah perayaan untuk memahami cara hidup, gaya hidup, dan cara berpikir masyarakat kita,” tutup Garin Nugroho.
Pertanyaannya kini: jika horor lahir dari ketakutan kolektif masyarakat, ketakutan apa yang sebenarnya sedang kita hadapi hari ini?***
Penulis : Jefri Asmoro Diyatno












