Sengketa Tanah di Watukarung Pacitan, Warga Gugat Pemerintah Desa Atas Pembangunan Gasebo di Atas Lahan Miliknya

Faktanews24.com – Pacitan, Sebuah gasebo berdiri tegak di kawasan wisata Pantai Kasap, Desa Watukarung, Kecamatan Pringkuku, Kabupaten Pacitan. Gasebo yang dikenal sebagai gardu pandang itu dibangun diatas bukit pada tahun 2021 atas dasar Dana Desa, namun dibangun di atas lahan milik Yadianto, seorang warga yang taat membayar pajak tanahnya.

Dari bangunan tersebut, mata kita akan disuguhkan dengan pandangan alam yang memukau terlebih ada gugusan beberapa bukit mungil, yang jadi salah satu spot wisata di wilayah tersebut. Susana yang menyejukkan diantaranya desir angin, suara ombak, kokohnya bebatuan karang, hingga menatap lengkung Samudera Hindia, akan membersamai para pengunjung selama ada di kawasan wisata itu. Sehingga pihak pengunjung juga semakin jenak dan nyaman saat berkunjung di tempat tersebut.

Gasebo itu dibangun pada 2021 lalu, di atas lahan dengan luas tanah lebih dari 9.300 meter persegi. Sedangkan pembangunannya, berpangkal dari Dana Desa. Hanya saja, bangunan itu didirikan di lahan milik Yadianto, orang yang sampai saat ini taat kewajiban bayar pajak terhadap bidang tanah tersebut.

“Yang kita perjuangkan ini, kembalinya tanah (milik) ini. Letter C ada, SPPT ada, dan setiap tahun saya yang bayar pajaknya. Buktinya ada,” Ujar Yadi, Kamis, 10 Oktober 2024 saat diwawancarai wartawan.

Pria asli Watukarung itu mengungkapkan, peristiwa tersebut berawal ketika ia hendak mengurus sertifikat tanah pada 2018 silam. Tanah yang akan disertifikat itu di samping lokasi yang kini jadi persoalan, atau disengketakan.

Pada bidang tanah tersebut, awalnya ada letter C-nya, tapi oleh pihak desa dicoret dan diganti kepemilikan dengan nama orang lain. Padahal, lanjut Yadi, usai konfirmasi dengan orang yang dimaksud, mengaku bahwa yang bersangkutan tidak pernah membeli tanah itu, tetapi yang dibeli adalah bidang lain.

Berita Lainnya  Puluhan Alat Excavator Pencari Mas Elegal Masih Beroperasi

“Setiap menanyakan ke pihak desa, jawaban oknum desa; kalau sudah dicoret berarti tanah sudah keluar. Tapi gak pernah dikasih tahu letter C-nya seperti apa rentetannya,” Katanya.

“Itu sudah bertahun-tahun saya menelusurinya, akhirnya saya gunakan PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah),” Sambung pria 9 bersaudara.

Ketika pakai jasa PPAT, Yadi bak menemukan sejumput jawaban, dari rentetan tanya yang bergelayutan di kepala dalam beberapa tahun terakhir. Pada letter C itu, diketahui sudah tersemat nama Supeno/ Suratin, warga setempat.

“Setelah kita lacak ke rumah Supeno/Suratin, dia tidak pernah beli tanah itu. Memang orang tua saya jual tanah, tapi bukan tanah Pantai Kasap tersebut. Itu bidang lain, persil dan blok lain,” Kata Yadi.

“Awalnya tanah itu kan satu bidang, karena ada jalan baru ke wisata, akhirnya sertifikat itu terpisah. Yang sebelah bisa disertifikatkan, sebelahnya lagi belum, karena terbentur badan jalan,” Bebernya.

BUMDes Watukarung Kais Cuan di Tanah Sengketa

Sedari awal, pihak desa tidak pernah meminta izin kepada Yadianto ketika mendirikan bangunan. Tiap menanyakan ke desa, Yadi tak pernah dapat jawaban pasti, selain jawaban yang kerap ia dengar; kalau sudah dicoret tanah sudah keluar.

“Tidak izin. Pihak desa juga tidak izin ke Supeno/Suratin kalau (letter C) itu diatasnamakan mereka,” Ujar Yadi, menambahkan.

Semenjak dibangun, gasebo yang terletak di Dusun Tekil itu sudah beroperasi di bawah naungan BUMDes Watukarung. Aktivitas wisata, ekonomi, telah berjalan sedemikian rupa, yang tentunya pundi-pundi cuan sudah dikais selama dikelola.

“Kami kemarin juga masuk ke sana (lokasi wisata), seperti tiket masuk ke area Kasap itu tidak ada nomor serinya, tidak ada korporasinya. Menurut hemat kami, kalau ada nomor seri seharusnya ada korporasi,” Sahut Andri Hermansyah, Kuasa Hukum penggugat.

Berita Lainnya  Mahasiswa Jadi Sasaran Empuk Bandar Narkoba, Divisi Humas Polri Goes To Campus Universitas Pancasila

Di tanah tersebut, lanjut dia, bukan hanya terdapat bangunan Gasebo saja, tetapi juga ada Aula. Ketika naik di Gasebo, kata Andri, ada tarif yang harus dibayar oleh pengunjung yaitu Rp5 ribu. Kemudian di lahan tersebut, juga dipakai untuk camping ground dengan tarif yang dipatok Rp15 ribu per camping.

Perihal itu, pihaknya pun telah berkirim surat ke DPRD, Inspektorat, dan sebagainya. Selanjutnya, kata Andri, upaya yang hendak dilakukan yakni buat permohonan untuk somasi ke pemerintah desa, kecamatan, kabupaten.

“Kalau tidak ada pergerakan, kami akan naik ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara). Namun sebelumnya kita minta rekomendasi dari Ombudsman dan Komisi Informasi Publik,” Katanya.

Bak Drama, Pihak Desa Malah Minta Hilangkan Nama Pemilik di Letter C

Mediasi yang difasilitasi pihak kecamatan pun seolah belum mampu mengurai permasalahan tersebut, meskipun sejumlah pihak didatangkan, mulai Badan Pertanahan Nasional (BPN) hingga sejumlah dinas terkait.

“Alasannya pihak desa macam-macam, sampai ada alasan si tanah itu ada keterputusan letter C dengan yang lalu. Warisnya ada keterputusan,” Ungkapnya.

“Pihak BPN saat itu sampai menjelaskan (ke pihak desa) cara membaca letter C. Pihak BPN menyampaikan, yang dibaca itu yang terakhir, yang lalu gak guna lagi. Semua alasan dari pihak desa itu sudah dipatahkan semua,” Imbuhnya.

Pada mediasi ke tiga, lanjut dia, pihak desa yang didampingi oleh bagian hukum, Asisten 3, dan Jaksa Pengacara Negara, meminta untuk menghilangkan nama Marto atau Marto Ginen, dengan alasan karena terputus dan tidak ada yang menguasai, sehingga tanah itu diminta kembali ke negara.

“Pada intinya mereka minta untuk menghilangkan nama Marto atau Marto Ginen,” Kata Andri, sembari geleng-geleng kepala.

Berita Lainnya  Ditengah Gempuran Retail Modern Pasar Arjosari Tetap Jadi Idola, Dibangunnya Jembatan Gunungsari Menjadi Akses Ekonomi dan Pendidikan

Perihal tersebut, Andri dan tim pun masih dibuat bertanya-tanya. Namun sekelumit pertanyaan itu tak jua dapat jawaban. Tanya dia, pada pembangunan 2021 lalu ada nama Suratin/ Supeno, apakah pemerintah desa itu ada perikatan, perjanjian, sewa, konsinyasi atau semacamnya. “Kata mereka (pihak pemdes), itu urusan Pak Wito (Sekdes lama). Menurut kami, sebuah perikatan perjanjian itu kan arsip. Itu seharusnya sampai sekarang masih ada, kecuali kena bencana. Termasuk peta kerawangan Desa Watukarung, itu tidak ada,” Ujarnya.

Andri sedikit merunutkan, orang tua kliennya tersebut (Marto/ Marto Ginen) meninggal dunia pada 1976 silam. Sedangkan pencoretan pada letter C dan diatasnamakan Supeno/Suratin itu, dibubuhkan tinta pada tahun 1983.

“(Letter C) yang ditunjukan hanya foto copy saja, bukan asli. Jadi itu terlihat, kalau dalam tinta foto copy itu bukan seperti tulisan yang tahun 1983. Kalau pun nanti arahnya ke forensik atau apa, kami pastikan itu bukan tahun 1983,” katanya.

“Insya Allah, klien kami berada di posisi yang benar. Kami siap mendampingi sampai mana pun. Ini perjuangan rakyat ingin meraih kembali tanahnya,” Pungkas Andri.***

Penulis : Jefri Asmoro Diyatno

Jefri Asmoro Diyatno