Faktanews24.com-Bogor| Hilangnya 1,2 juta hektare (Ha) kawasan hutan lindung di Jawa Barat, dari total 1,6 juta Ha, kini menempatkan provinsi padat penduduk ini di ambang krisis lingkungan, Data mengejutkan yang disampaikan Menteri Lingkungan Hidup, Hanif Faisol Nurofiq, pada Rabu (3/12), menegaskan adanya degradasi masif yang hanya menyisakan 400.000 Ha hutan sebagai benteng terakhir.
Kondisi tragis ini dipandang sebagai hasil dari kegagalan tata kelola hutan dan praktik eksploitasi yang tak terkendali, Sorotan tajam diarahkan pada rantai pasok industri kayu yang beroperasi di wilayah tersebut.
”Data 1,2 juta hektare yang hilang itu bukan sekadar angka. Itu adalah debit bencana hidrometeorologi, seperti banjir bandang dan longsor, yang telah diutang oleh ekosistem Jawa Barat. Kehilangan fungsi hutan lindung ini meningkatkan kerentanan jutaan jiwa,” ujar Hanif Faisol.
*AKTIVITAS KAYU BOGOR DI BAWAH BAYANG-BAYANG INVESTIGASI*
Sejumlah perusahaan yang bergerak di bidang pengelolaan kayu di Kabupaten Bogor, khususnya di kawasan Bogor Barat, didesak untuk segera diinvestigasi karena kuat dugaan keterlibatan mereka dalam menerima atau mengolah kayu hasil deforestasi.
Beberapa perusahaan yang disebut-sebut aktif dalam pengelolaan kayu di kawasan tersebut, antara lain PD Langgeng Jaya, PD Cahaya Rimba, Sinar Jaya Mandiri, Putra Harapan, Nunggal Jaya dan lain lain
Agus Suryaman, Pengamat Lingkungan Senior, menyatakan bahwa perusahaan-perusahaan ini harus segera diaudit untuk mengetahui sejauh mana mereka mematuhi aturan legalitas kayu.
*INDIKASI PELANGGARAN OLEH PERUSAHAAN PENGELOLAAN KAYU*
Investigasi yang mendalam perlu dilakukan oleh Gakkum KLH dan Kepolisian. Menurut Agus Suryaman, indikasi-indikasi pelanggaran yang harus didalami terhadap perusahaan pengelolaan kayu mencakup:
Penerimaan Kayu Ilegal (Illegal Logging): Indikasi kuat bahwa perusahaan menerima pasokan bahan baku kayu yang tidak memiliki dokumen Surat Keterangan Sahnya Hasil Hutan (SKSHH) atau kayu yang berasal dari kawasan hutan lindung yang ditebang secara ilegal.
Pelanggaran Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK): Perusahaan melanggar standar SVLK, baik melalui pemalsuan dokumen asal usul kayu maupun manipulasi volume penerimaan dan pengolahan. Pelanggaran SVLK dapat berujung pada pencabutan izin usaha.
Tindakan Pidana Pencucian Uang (Money Laundering): Dugaan penggunaan perusahaan legal sebagai sarana untuk mencuci uang hasil kejahatan lingkungan dari penebangan hutan secara ilegal, yang melibatkan nilai transaksi fantastis.
Pengolahan Kayu Tanpa Izin (Illegal Processing): Melakukan pengolahan kayu di luar batas kapasitas atau jenis kayu yang diizinkan dalam Izin Usaha Industri Primer Hasil Hutan Kayu (IUIPHHK), atau bahkan beroperasi tanpa izin yang valid.
Penyerobotan Kawasan Hutan: Diduga aktivitas perusahaan, baik penebangan maupun pembangunan infrastruktur penunjang, melanggar batas dan menerobos kawasan hutan lindung atau konservasi yang dilindungi negara.
”Perusahaan-perusahaan ini adalah pintu gerbang legalitas. Jika mereka terbukti melanggar, mereka bukan hanya pelaku usaha, tapi aktor kejahatan lingkungan yang harus dijerat dengan Undang-Undang Kehutanan dan Tindak Pidana Pencucian Uang untuk efek jera,” tutup Agus.[]












